Judul : yang kusayang telah usai
Dinda selalu merasa ada yang kurang dalam hidupnya. Setiap pagi, dia akan
bangun dengan suara adu argumen antara ayah dan ibunya yang sudah tak asing
lagi di telinganya. Suara itu mengisi setiap sudut rumah mereka yang dulu
pernah penuh tawa. Kini, rumah itu terasa sepi meskipun ada orang di dalamnya.
Ayah Dinda, seorang pria yang dulu penuh kasih sayang, kini lebih sering
marah-marah tanpa alasan yang jelas. Ibunya, yang dulunya lembut dan penyayang,
kini hanya bisa menangis di balik pintu kamar, menghindari konflik yang terus
berulang.
Dinda, di tengah semua itu, berusaha untuk tetap kuat. Dia menganggap
semuanya adalah bagian dari hidup yang harus dijalaninya. Namun, ada kalanya
dia merasa kesepian, bahkan di tengah keramaian. Teman-temannya sering
bercerita tentang keluarga mereka yang hangat, tentang ayah yang mengajak
bermain bola di sore hari atau ibu yang memasakkan makanan favorit mereka.
Dinda hanya bisa tersenyum tipis, sembari menyembunyikan luka di hatinya.
Pada suatu malam yang hujan, Dinda duduk di depan jendela kamar, melihat
tetesan air yang membasahi kaca. Dia merasakan kesepian yang begitu dalam,
seolah seluruh dunia tak bisa mengerti apa yang dia rasakan. Ia berpikir
tentang perpisahan yang mungkin tak terhindarkan antara ayah dan ibunya. Apakah
itu akan membuat semuanya lebih baik? Atau justru lebih buruk?
Dinda teringat sebuah kata-kata yang pernah diucapkan oleh ibunya,
"Kita mungkin tak bisa mengubah apapun tentang masa lalu, tapi kita bisa
memilih bagaimana melangkah ke depan."
Kata-kata itu terus berputar dalam pikiran Dinda. Dalam kesedihannya, ia
mulai menyadari bahwa meskipun rumah mereka telah hancur, dia masih memiliki
dirinya sendiri. Masih ada cinta dari teman-temannya, dari gurunya, dan dari
dirinya sendiri. Walaupun dunia seolah berubah, Dinda harus belajar untuk
berdiri tegak.
Hari-hari berlalu dengan perlahan, dan meskipun keadaan di rumah tak juga
berubah, Dinda mulai menemukan cara untuk menerima semuanya. Dia mulai menulis,
menyalurkan perasaan-perasaannya ke dalam catatan harian yang dia simpan
rapat-rapat. Tulisannya menjadi cara Dinda berbicara dengan dirinya sendiri,
meredakan luka yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Pada suatu pagi, ketika ayah dan ibunya lagi-lagi terlibat perdebatan, Dinda
memutuskan untuk keluar dari rumah sejenak. Dia berjalan kaki ke taman yang tak
jauh dari rumah mereka, tempat yang selalu memberinya ketenangan. Di sana, di
tengah udara segar, dia merasakan kedamaian yang sejenak bisa melupakan
keramaian dan pertengkaran di rumah.
Di bangku taman, Dinda bertemu dengan seorang nenek yang sedang duduk sambil
memberi makan burung merpati. Nenek itu tersenyum padanya dan berkata,
"Anak muda, kehidupan ini memang tak selalu berjalan sesuai keinginan
kita. Tapi kamu tahu, semakin banyak kamu berusaha, semakin banyak kamu belajar
tentang dirimu sendiri. Percayalah, hidup ini punya cara untuk membuat kita
lebih kuat."
Dinda tersenyum kecil, merasa seolah-olah nenek itu memahami perasaannya.
Dia duduk di sebelah nenek itu, mendengarkan kisah-kisahnya tentang kehidupan.
Satu hal yang Dinda pelajari dari percakapan itu adalah bahwa, meskipun dia tak
bisa mengontrol apa yang terjadi di rumahnya, dia bisa memilih bagaimana untuk
tetap bertahan, untuk terus melangkah, bahkan ketika dunia terasa rapuh.
Dengan langkah-langkah kecil, Dinda mulai melihat harapan di setiap ujung
jalan. Rumah yang dulu penuh konflik kini tak lagi menjadi satu-satunya tempat
yang dia tuju untuk merasa aman. Dia tahu, rumah sejati adalah tempat di mana
hati merasa damai, dan itu adalah sesuatu yang bisa dia bangun kembali, bahkan
jika tidak ada orang lain yang membantunya.
Dan meskipun keluarganya sedang berjuang dengan kerapuhan mereka sendiri,
Dinda akhirnya menemukan kekuatan dalam dirinya untuk memilih bagaimana
melangkah, untuk memilih apa yang dia ingin menjadi, meskipun tak ada yang
sempurna.
Komentar
Posting Komentar