Nama:Wirda Tsaniya Sahla
Kelas:XI-7
Rumah yang Selalu Ada
Aku duduk di beranda rumah, menatap senja yang mulai mengubah langit menjadi merah jingga. Angin sore yang sejuk membawa kenangan tentang rumah ini, tempat aku dibesarkan. Rumah yang tak besar, namun selalu penuh dengan tawa, cerita, dan cinta. Di sinilah aku belajar tentang arti keluarga—bukan hanya sebagai tempat tinggal, tetapi juga sebagai sumber kekuatan dan kedamaian.
Ayahku adalah sosok yang selalu bekerja keras, tidak banyak bicara, tapi setiap detik yang dia habiskan di rumah adalah untuk keluarga. Ibu, dengan senyum yang tak pernah pudar, selalu bisa membuat kami merasa tenang meski dunia di luar kadang terasa kacau. Mereka berdua adalah dua sisi yang saling melengkapi, menciptakan rumah yang hangat dan penuh kasih.
Aku teringat masa kecil, ketika setiap pagi sebelum sekolah, ibu selalu menyiapkan sarapan di meja makan. Ayah biasanya sudah pergi bekerja lebih awal, namun aku bisa mendengar suaranya dari ruang tamu, menyemangati kami untuk menjalani hari dengan baik. Tidak ada hari yang terasa sunyi di rumah ini, selalu ada suara yang menyambut kami, baik itu suara ibu yang mengingatkan untuk makan, atau ayah yang memberikan nasihat sederhana.
Namun, seperti halnya banyak keluarga, kami pun menghadapi ujian. Ketika aku duduk di bangku SMA, ayah terpaksa mengambil keputusan besar untuk pindah ke kota lain demi pekerjaan yang lebih baik. Aku dan ibu harus tinggal di rumah ini, menunggu kabar dari ayah yang kini sering pergi selama berbulan-bulan.
Hari-hari tanpa ayah terasa panjang. Aku merasakan betapa besar peranannya dalam kehidupan kami. Ibu mencoba untuk tetap kuat, namun aku tahu dia pun merindukan keberadaan ayah. Terkadang, malam-malam kami terasa lebih sepi, dan aku bisa mendengar ibu terbangun dari tidurnya, berjalan ke jendela untuk melihat apakah ada kabar dari ayah.
Waktu berlalu, dan meskipun banyak hal berubah, satu hal tetap sama: keluarga kami tetap bersama. Ayah akhirnya kembali setelah beberapa tahun bekerja di kota, dan meskipun kehadirannya tidak bisa mengembalikan waktu yang hilang, kami tahu bahwa ikatan kami tak akan pernah terputus.
Suatu sore, setelah banyak peristiwa yang kami lalui, aku duduk bersama ibu di meja makan. "Aku sering berpikir, Bu," kataku pelan, "apa yang sebenarnya membuat rumah ini terasa selalu ada, bahkan ketika ayah jauh, bahkan ketika aku mulai dewasa dan sering berada di luar."
Ibu tersenyum, lalu menjawab dengan suara lembut, "Rumah itu bukan hanya tentang tempat kita tinggal, Nak. Rumah adalah tempat di mana hati kita selalu merasa aman, di mana kita bisa menjadi diri sendiri. Keluarga, meski terpisah atau berada jauh, selalu menjadi tempat kembali."
Aku mengangguk, merasakan hangatnya kata-kata ibu. Kini aku mengerti, bahwa keluarga bukanlah tentang kedekatan fisik semata. Keluarga adalah ikatan hati yang tak terlihat, namun selalu ada, bahkan saat kita merasa sendirian. Di rumah ini, aku belajar bahwa apapun yang terjadi, rumah dan keluarga akan selalu menjadi tempat yang paling aman untuk kembali.
Dan senja itu, saat aku menatap langit yang berubah menjadi gelap, aku tahu bahwa keluarga kami, meski terkadang diuji oleh jarak dan waktu, selalu ada—seperti rumah yang tak pernah benar-benar pergi.
Komentar
Posting Komentar