Kehangatan dibalik hujan yang deras
Di sebuah kamar di pinggir desa, Viky duduk sendirian di atas kasur. Hujan turun begitu deras, bergerintik di atas kanopi dan membasahi halaman kecil di depan rumahnya. Tetes-tetes air membentuk pola yang tidak beraturan di kaca jendela, seolah-olah ingin menceritakan kisahnya sendiri.
Viky memandangi jalanan yang sepi, berharap ada sesuatu yang terjadi. Sudah lama ia merasa bosan dengan aktivitas yang sehari-hari ia lakukan. Hatinya dengan jelas menggambarkan seperti jendela itu—basah, dingin, dan tidak beraturan.
Tiba-tiba, terdengar suara ketukan dari pintu depan. Viky bergegas melihat dan membukakannya. Di depan pintu berdiri seorang anak perempuan dengan seragam yang basah terkena air hujan dan wajah yang terlihat sangat menggigil. Sehabis membuka pintu Viky menghela nafas panjang lalu menghembuskannya dengan perlahan, dan ternyata anak perempuan itu adiknya.
“Maaf, Kak, aku kehujanan. Boleh aku minta tolong ambilkan handuk untukku?” tanyanya dengan suara gemetar.
Tanpa berpikir panjang, Viky langsung menyuruh adiknya, Shela segera masuk dan mengganti bajunya yang basah kuyup. Ia memberikan handuk kecil dan membuatkan secangkir teh hangat. Anak itu tersenyum lembut, tetapi tatapan matanya seolah takut akan omelan kakaknya. Disisi lain tatapan mata itu pun penuh rasa terima kasih.
Saat mereka duduk bersebelahan di ruang keluarga, adiknya mulai bercerita tentang perjalanannya setelah sepulang sekolah hingga hujan turun. Cerita itu membuat Viky teringat akan masa-masa waktu sekolahnya dulu—saat musim hujan, sepulang sekolah selalu didatangkan oleh air hujan yang begitu deras hingga menunda waktu pulang sekolah.
Saat hujan mulai reda, suara rintik di atap menjadi lebih lembut. Shela menatap keluar jendela dengan meminum segelas teh hangat yang dibuatkan oleh kakaknya, sementara Viky masih duduk di sebelahnya. Mereka terdiam sejenak, menikmati momen itu tanpa kata-kata.
"Shel, kenapa tadi kamu nggak bawa payung? Kan jadi kehujanan, Sudah tau musim hujan," tanya kakaknya, Viky dengan nada sedikit menegur dan wajah yang datar, tapi tak sekeras biasanya.
Shela tersenyum malu. "Aku lupa, Kak. Tadi buru-buru berangkat sekolah, ada tugas yang harus di kumpulin pagi tadi."
Lalu Viky mengangguk dan sedikit tersenyum. "Ya sudah, lain kali jangan lupa. Payung itu kecil, tapi penting," jawabnya sambil mengusap kepala adiknya.
Shela mengangguk dengan ekspresi bersalah, tetapi senyumnya mulai terbuka lebar. "Iya, Kak. Janji, nggak lupa lagi."
Hujan pun benar-benar berhenti. Cahaya matahari sore mulai muncul, memberi pelangi di sisa-sisa air hujan di jendela. Shela menatap pelangi yang ada dijendela, "Kak, lihat itu Pelanginya bagus banget!" serunya dengan nada yang gembira.
Viky mengikuti arah pandangan adiknya ke jendela. Senyumnya mengembang perlahan. "Iya, bagus. Sudah lama nggak lihat pelangi seperti ini."
Shela menoleh ke kakaknya. "Kak, waktu kecil, Kakak kan pernah bilang kalau pelangi itu tanda kebahagiaan. Masih percaya nggak?" tanyanya dengan wajah yang polos.
Viky tertawa kecil, sedikit melamun mengingat masa lalunya. "Iya, dulu aku percaya. Tapi sekarang... mungkin aku lupa gimana rasanya."
Shela mendekat, lalu menggenggam tangan kakaknya. "Kalau begitu, mulai sekarang Kakak harus percaya lagi. Biar kita sama-sama cari kebahagiaan itu."
Suasana di dalam rumah pun sudah berubah menjadi hangat. Dan Viky teringat bahwa terkadang, kenangan atau kebahagiaan datang dari hal-hal sederhana.
Tema: Kehangatan dalam kesederhanaan
Alur: Mundur
Tokoh dan penokohan:
•Viky; Protagonis
•Shela; Protagonis
Latar tempat: kamar, ruang keluarga
Latar waktu: Sore hari
Pesan moral: Kebahagiaan dapat ditemukan dalam hal-hal sederhana dan perhatian terhadap orang yang kita sayangi.
Komentar
Posting Komentar